KRISIS ’98 dan EKONOMI INDONESIA 2020

by - July 04, 2020


cr image: google.com

Dua puluh satu (21) tahun silam adalah masa-masa tersuram bagi bangsa Indonesia, bagaimana tidak, saat itu banyak mahasiswa yang bentrok dengan aparat kepolisian dan militer, orang-orang yang tidak bersalah juga kena getahnya. Keadaan Indonesia sangat kacau, terutama di bidang perekonomian. Saat itu Indonesia dilanda kriris keuangan global (krisis moneter). Mulai dari pelemahan nilai tukar rupiah, kenaikan inflasi serta lambatnya pertumbuhan perekonomian. Tak hanya itu saja, pada saat itu juga terjadi musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi seperti, kegagalan panen di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, penyebaran hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998.

Dikutip dari Eddy Suandi Hamid (2017), melemahnya nilai tukar rupiah pada saat itu karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu defisit transaksi berjalan Indonesia cenderung membesar dari tahun ketahun, faktor eksternal yang mendorong terjadinya krisis moneter adalah finansial di tiga kutub dunia yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang pada paruh kedua dekade 1990-an, karena perekonomian yang dialami Jepang dan proses ekonomi-politik penyatuan mata uang Eropa.

Kriris moneter yang terjadi ini sempat menimbulkan kecemasan di kalangan rakyat jelata, mereka yang awam akan masalah perekonomian bangsa beranggapan bahwa pemerintah orde baru tidak mampu mengatasi persoalan yang sulit. Di tambah lagi utang luar negeri Indonesia yang terlalu banyak (sejak 1965) telah membuat pemerintah terlena dengan resiko yang akan ditanggung di masa depan.

Jika melihat lagi kebelakang, tidak hanya merosotnya nilai tukar rupiah saja yang menjadi faktor penyebab krisis moneter, ada juga; karena Indonesia menganut sistem devisa yang terlalu bebas menjadikan perusahaan-perusahaan besar bermain di pasar valas, juga bebasnya membuka rekening di luar maupun dalam negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri. Lalu, penurunan tingkat depresif rupiah yang relatif rendah, ada juga utang luar negeri milik swasta yang jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan, adanya permainan di lingkaran spekulan asing, kebijakan fiskal moneter yang tidak konsisten, juga ikutnya spekulan domestik bermain hingga krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sehingga banyak masyarakat yang membeli dollar Amerika Serikat agar nilai kekayaan mereka tidak merosot dan malah menarik keuntungan dari kemerosotan itu.

Krisis moneter yang terjadi ini disebut juga sebagai krisis fundamental, meskipun pada saat itu fundamental ekonomi Indonesia terbilang cukup kuat; laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar. Pun demikian, agar supaya tidak terjadi kebobrokan fundamental, hendaknya Indonesia melakukan reformasi ekonomi yaitu dengan cara memperbaiki fundamental ekonomi yang bertitik tolak menaikkan sistem kurs, meciptakan politik dan keamanan, melakukan reformasi terhadapp hukum dan birokrasi, dan melakukan pemutihan utang luar negeri.

Terkait dengan itu semua, di tahun 2020 ekonomi Indonesia terancam kembali merosot. Bahkan diprediksi lebih parah dari tahun 1998. Resesi ekonomi global yang menyebabkan itu semua. Seperti yang dikutip dari wikipedia.com, resesi adalah kondisi di mana produk domestik bruto (GDP) mengalami penurunan. Adanya penurunan simultan diseluruh aktivitas ekonomi turut menciptakan keadaan di mana pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih. Bahkan kebijakan UMKM dari pemerintah dinilai tidak bisa diandalkan untuk mengatasi resesi ekonomi ini.

Menurut seorang ekonom, Indef  Bhima Yudhistira, saat ini resesi sudah lebih kompleks dibanding pada era 1998. Bahkan perang dagang tidak bisa disimpulkan jadi penyebab utama resesi. Masih terdapat faktor lain seperti Brexit maupun kondisi geopolitik Asia yang juga tak baik. Resesi ekonomi 2020 ini dinilai akan kembali pulih pada 2023-2024.

UMKM sendiri saat ini sudah banyak memperdagangkan barang impor yang diperjual belikan melalui platform digital, keadaan ini sebenarnya sangat disayangkan mengingat resiko yang ditanggung akan lebih berat. Dan jika benar terjadi resesi, bisa di pastikan barang-barang impor tersebut akan mengalami kenaikan yang drastis dan UMKM berisiko gulung tikar.

Meski begitu, bisnis melalui platform digital, digadang-gadang akan menjadi solusi untuk meminimalisir resesi, karena dengan itu, banyak sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja. Juga, permintaan akan bisnis yang berbasis digital semakin tinggi. Namun sangat disayangkan kebanyakan investor atau pebisnis digital platform ini justru datang dari orang asing. Masih mengutip dari Bhima, menurutnya, pada waktu tertentu akan mungkin terjadi fenomena gelembung yang sangat besar dan nantinya akan pecah. Di mana ketika tidak ada investor baru yang akan menangani, ekonomi digital akan menjadi bencana bagi bangsa Indonesia.

Jika di hitung, defisit anggaran hingga akhir 2019 kemungkinan mencapai Rp305 triliun (Direktur Data Indonesia, Herry Gunawan). Kondisi yang demikian akan membuat pemerintah untuk terus membuka peluang mencari utang untuk menutup defisit anggaran. Dan hingga Juli 2019, total uang pemerintah mencapai Rp 4.603 triliun, sebanyak 83% atau Rp 3.821 triliun di antaranya dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Juga menurut data, dari sisi kategori kewarganegaraan, pemegang surat utang Indonesia sebagian besar adalah non residen (asing), yaitu sebesar 51,12%.

Dengan ini, sudah seharusnya Bank Indonesia membuat kebijakan serta mengarut interaksi antara makroekonomi dengan mikroekonomi. Kebijakan ini dibuat agar menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung kestabilan perekonomian Indonesia. Selain itu, di harapkan agar Bank Indonesia menjaga kestabilitasan sistem keuangan Indonesia dalam segala kondisi, sekarang maupun di 2020 nanti.


 -oleh: Syiva Arziah


You May Also Like

0 Comments