Dua puluh satu (21) tahun silam adalah masa-masa tersuram bagi
bangsa Indonesia, bagaimana tidak, saat itu banyak mahasiswa yang bentrok
dengan aparat kepolisian dan militer, orang-orang yang tidak bersalah juga kena
getahnya. Keadaan Indonesia sangat kacau, terutama di bidang perekonomian. Saat
itu Indonesia dilanda kriris keuangan global (krisis moneter). Mulai dari
pelemahan nilai tukar rupiah, kenaikan inflasi serta lambatnya pertumbuhan
perekonomian. Tak hanya itu saja, pada saat itu juga terjadi musibah nasional
yang datang secara bertubi-tubi seperti, kegagalan panen di banyak tempat
karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir,
penyebaran hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan
peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998.
Dikutip dari Eddy Suandi Hamid (2017), melemahnya nilai tukar
rupiah pada saat itu karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor
internal yaitu defisit transaksi berjalan Indonesia cenderung membesar dari
tahun ketahun, faktor eksternal yang mendorong terjadinya krisis moneter adalah
finansial di tiga kutub dunia yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang pada
paruh kedua dekade 1990-an, karena perekonomian yang dialami Jepang dan proses
ekonomi-politik penyatuan mata uang Eropa.
Kriris moneter yang terjadi ini sempat menimbulkan kecemasan di
kalangan rakyat jelata, mereka yang awam akan masalah perekonomian bangsa
beranggapan bahwa pemerintah orde baru tidak mampu mengatasi persoalan yang
sulit. Di tambah lagi utang luar negeri Indonesia yang terlalu banyak (sejak
1965) telah membuat pemerintah terlena dengan resiko yang akan ditanggung di
masa depan.
Jika melihat lagi kebelakang, tidak hanya merosotnya nilai tukar
rupiah saja yang menjadi faktor penyebab krisis moneter, ada juga; karena
Indonesia menganut sistem devisa yang terlalu bebas menjadikan
perusahaan-perusahaan besar bermain di pasar valas, juga bebasnya membuka
rekening di luar maupun dalam negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam
negeri sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di
luar negeri. Lalu, penurunan tingkat depresif rupiah yang relatif rendah, ada
juga utang luar negeri milik swasta yang jangka pendek dan menengah sehingga
nilai tukar rupiah mendapat tekanan, adanya permainan di lingkaran spekulan
asing, kebijakan fiskal moneter yang tidak konsisten, juga ikutnya spekulan
domestik bermain hingga krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
sehingga banyak masyarakat yang membeli dollar Amerika Serikat agar nilai
kekayaan mereka tidak merosot dan malah menarik keuntungan dari kemerosotan
itu.
Krisis moneter yang terjadi ini disebut juga sebagai krisis
fundamental, meskipun pada saat itu fundamental ekonomi Indonesia terbilang
cukup kuat; laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah,
neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca
berjalan cenderung membesar. Pun demikian, agar supaya tidak terjadi kebobrokan
fundamental, hendaknya Indonesia melakukan reformasi ekonomi yaitu dengan cara
memperbaiki fundamental ekonomi yang bertitik tolak menaikkan sistem kurs,
meciptakan politik dan keamanan, melakukan reformasi terhadapp hukum dan
birokrasi, dan melakukan pemutihan utang luar negeri.
Terkait dengan itu semua, di tahun 2020 ekonomi Indonesia terancam
kembali merosot. Bahkan diprediksi lebih parah dari tahun 1998. Resesi ekonomi
global yang menyebabkan itu semua. Seperti yang dikutip dari wikipedia.com,
resesi adalah kondisi di mana produk domestik bruto (GDP) mengalami penurunan. Adanya
penurunan simultan diseluruh aktivitas ekonomi turut menciptakan keadaan di
mana pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih. Bahkan
kebijakan UMKM dari pemerintah dinilai tidak bisa diandalkan untuk mengatasi
resesi ekonomi ini.
Menurut seorang ekonom, Indef Bhima Yudhistira, saat ini resesi sudah lebih
kompleks dibanding pada era 1998. Bahkan perang dagang tidak bisa disimpulkan
jadi penyebab utama resesi. Masih terdapat faktor lain seperti Brexit maupun
kondisi geopolitik Asia yang juga tak baik. Resesi ekonomi 2020 ini dinilai
akan kembali pulih pada 2023-2024.
UMKM sendiri saat ini sudah banyak memperdagangkan barang impor
yang diperjual belikan melalui platform digital, keadaan ini sebenarnya sangat
disayangkan mengingat resiko yang ditanggung akan lebih berat. Dan jika benar
terjadi resesi, bisa di pastikan barang-barang impor tersebut akan mengalami
kenaikan yang drastis dan UMKM berisiko gulung tikar.
Meski begitu, bisnis melalui platform digital, digadang-gadang akan
menjadi solusi untuk meminimalisir resesi, karena dengan itu, banyak sumber
daya yang dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja. Juga, permintaan akan bisnis
yang berbasis digital semakin tinggi. Namun sangat disayangkan kebanyakan
investor atau pebisnis digital platform ini justru datang dari orang asing.
Masih mengutip dari Bhima, menurutnya, pada waktu tertentu akan mungkin terjadi
fenomena gelembung yang sangat besar dan nantinya akan pecah. Di mana ketika tidak
ada investor baru yang akan menangani, ekonomi digital akan menjadi bencana
bagi bangsa Indonesia.
Jika di hitung, defisit anggaran hingga akhir 2019 kemungkinan
mencapai Rp305 triliun (Direktur Data Indonesia, Herry Gunawan). Kondisi yang
demikian akan membuat pemerintah untuk terus membuka peluang mencari utang
untuk menutup defisit anggaran. Dan hingga Juli 2019, total uang pemerintah
mencapai Rp 4.603 triliun, sebanyak 83% atau Rp 3.821 triliun di antaranya
dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Juga menurut data, dari sisi kategori
kewarganegaraan, pemegang surat utang Indonesia sebagian besar adalah non
residen (asing), yaitu sebesar 51,12%.
Dengan ini, sudah seharusnya Bank Indonesia membuat kebijakan serta mengarut interaksi antara makroekonomi dengan mikroekonomi. Kebijakan ini dibuat agar menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung kestabilan perekonomian Indonesia. Selain itu, di harapkan agar Bank Indonesia menjaga kestabilitasan sistem keuangan Indonesia dalam segala kondisi, sekarang maupun di 2020 nanti.
-oleh: Syiva Arziah
0 Comments