Mulai banyak kekhawatiran yang muncul akan terjadinya krisis ekonomi tahun ini. Berita buruk yang beredar di media massa maupun media sosial memaksa kami untuk membahas hal ini. Dunia terhentak. Tidak menyangka dampak wabah Covid-19 akan sebesar ini. Semua negara, termasuk negara-negara seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan Jepang, tergagap-gagap merespons wabah Covid-19 Mereka tidak memperkirakan wabah Covid-19 akan sangat cepat menyebar ke seluruh dunia dan berdampak begitu besar terhadap perekonomian. Meskipun lambat menyadari, semua negara sepakat bila dunia sedang menyongsong sebuah krisis besar. Mereka kemudian seakan berlomba mengambil kebijakan mengantisipasi krisis.
Stimulus dikucurkan besar-besaran, hampir tak berbatas. Demikian juga dengan Indonesia. Pemerintah yang awalnya under estimate akan potensi dampak wabah Covid-19 secara bertahap mengubah pandangannya. Skenario terburuk sudah terbayang. Krisis ekonomi seperti sudah di depan mata. Bisa bertahan di zona pertumbuhan positif akan menjadi prestasi yang sangat bagus. Transmisi Krisis Seperti apa krisis yang mungkin terjadi pada tahun ini? Banyak yang meyakini krisis tahun ini akan lebih buruk dibandingkan krisis tahun 1998.
Semua orang bebas berbendapat. Tapi kondisi tahun 1998/99
dengan tahun ini jelas berbeda. Sebelum krisis 1998, Indonesia disebut-sebut
sebagai salah satu keajaiban Asia. Namun sesungguhnya perekonomian Indonesia
ketika itu sangat rapuh. Guru besar Universitas Kyoto Jepang, Yoshihara Kunio,
dalam bukunya Kapitalisme Semu di Asia Tenggara (diterbitkan oleh LP3ES pada
tahun 1990), menyimpulkan bahwa perekonomian negara Asean (termasuk Indonesia)
dibangun oleh para pemburu rente dan spekulator dengan dukungan praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme. Konglomerasi di Indonesia keropos, tidak punya
fondasi yang kokoh. Tidak heran ketika terjadi krisis, nilai tukar pada
pertengahan 1997 berguguran dan dengan cepat memicu kredit macet. Perbankan
yang pada saat itu memang lemah dalam pengaturan dan pengawasan tidak mampu
menghadapi gelombang kredit macet. Modal bank terkuras habis dan masyarakat
kehilangan kepercayaan terhadap bank. Krisis nilai tukar berganti krisis
perbankan. Pemerintah dan Bank Indonesia sama sekali tidak siap. Berbagai
kebijakan diambil secara coba-coba atas kendali IMF. Terbukti kemudian sebagian
besar kebijakan tersebut tidak tepat dan justru menjerumuskan Indonesia ke
jurang krisis ekonomi yang lebih dalam. Tekanan terhadap perekonomian Indonesia
pada 2020 ini jauh lebih besar dibandingkan tahun 1998/99. Tahun ini tantangan
kita bukan sekadar gejolak nilai tukar, melainkan pandemi Covid-19 yang
melumpuhkan hampir seluruh Negara di dunia.
Perekonomian kita, mulai dari sektor pariwisata dan turunannya seperti hotel dan restauran, transportasi darat dan laut, hingga sektor manufaktur yang sesungguhnya relatif baikbaik saja, tiba-tiba harus melambat dan kemudian berhenti beroperasi akibat dari wabah Covid-19. Berbeda dengan tahun 1998/99, tahun ini usaha mikro dan kecil menjadi sektor yang paling duluan terhempas oleh pandemi Covid-19.
Jika dulu sektor informal, termasuk ojek, menjadi wadah penampungan mereka yang terkena PHK, tahun ini mereka justru yang pertama kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Perusahaan menengah besar sejauh ini belum terseret krisis. Tapi ditutupnya pabrik dan kantor di tengah kebijakan pembatasan sosial jelas memutus aliran masuk penerimaan perusahaan. Sementara di sisi lain, pengeluaran jalan terus. Karyawan harus digaji, cicilan pokok dan bunga utang bank harus dibayar, kewajiban pajak juga harus dipenuhi, dan biaya operasional seperti listrik dan air mau tidak mau tetap harus dilunasi. Perusahaan yang masih memiliki cadangan kas bisa bertahan dua tiga bulan. Tapi bila dibiarkan terus tanpa bantuan dari pemerintah, perusahaan pasti akan collapse dan memicu terjadinya gelombang kredit macet. Krisis perbankan akan terjadi dan memicu krisis ekonomi yang lebih besar. Berharap dari Stimulus Fiskal Berbeda dengan tahun 1998/99, sekarang kita punya infrastruktur kelembagaan yang lebih siap untuk menghindari krisis. Kita punya OJK dan LPS yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan bersama Kemenkeu dan BI, lengkap dengan protokol penanganan krisis.
Para pengambil kebijakan juga cukup tanggap menghadapi krisis. Ini dibuktikan dengan berbagai kebijakan yang sudah diambil oleh masing-masing Lembaga. Stimulus fiskal yang disiapkan Kemenkeu adalah kebijakan yang tepat. Terlepas dari nilainya yang diperkirakan masih terlalu kecil, tetapi peruntukannya sudah sesuai yang kita butuhkan untuk menghindari krisis, yaitu meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan agar bisa mempercepat penanggulangan wabah, meningkatkan jaring pengaman sosial untuk membantu masyarakat kecil yang terdampak, serta meningkatkan ketahanan dunia usaha. Stimulus fiskal untuk meningkatkan ketahanan dunia usaha akan menjadi kunci untuk menghindari krisis. Dengan bantuan pelonggaran pajak, tekanan defisit aliran kas yang dialami dunia usaha akan terkurangi. Dunia usaha juga semakin terbantu oleh kebijakan OJK yang mempermudah restrukturisasi kredit, sehingga kewajiban pembayaran cicilan pokok dan bunga kredit bisa dikurangi menyesuaikan kemampuan perusahaan. Pelonggaran restrukturisasi sekaligus juga meningkatkan ketahanan perbankan dan lembaga pembiayan dari tekanan kredit macet.
Efektivitas stimulus fiskal sangat ditentukan oleh kecepatan dan ketepatan dalam eksekusi. Kita tidak punya waktu untuk berdiskusi. Ketepatan sangat mungkin dikorbankan untuk mengejar kecepatan. Masyarakat dan dunia usaha yang terdampak wabah Covid-19 tidak bisa menunggu. Di sisi lain, pembiayaan stimulus fiskal juga harus diputuskan cepat. Perpu dalam hal ini adalah antisipasi tepat dari pemerintah untuk membuka ruang pembiayaan stimulus fiskal oleh Bank Indonesia. Potensi terjadinya krisis pada tahun ini adalah nyata. Bukan karena perekonomian kita lemah dan rapuh tetapi lebih dikarenakan permasalahannya yang lebih berat dan kompleks. Meskipun potensinya besar, krisis belum terjadi dan masih bisa dihindari . tanrangan yang kita hadapi memang sangat besar dan sulit diprediksi. Tapi banyak alasan untuk tetap optimis.
Berdasarkan data Kemenaker per 20 April 2020, terdapat 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan kena PHK akibat terimbas pandemi corona ini. Adapun rinciannya, sektor formal 1.304.777 pekerja dirumahkan dari 43.690 perusahaan. Sementara yang terkena PHK mencapai 241.431 orang dari 41.236 perusahaan.
Dampak pandemi
global COVID-19 ini sangat signifikan bagi perekonomian Indonesia. Pelemahan
perekonomian diproyeksikan akan terjadi selama 4-6 bulan ke depan. Bahkan bisa
jadi lebih lama, karena kita belum bisa memprediksikan kapan wabah ini bisa
teratasi dengan tuntas.
Pada fase awal
wabah ini di Indonesia, sektor pariwisata, penerbangan, perhotelan, ritel dan
restoran langsung terpukul. Dampak terhadap sektor lain, perlahan akan semakin
terasakan. Hal ini tentu akan berimbas pada nasib pekerja. Meski pun Presiden
Joko “Jokowi” Widodo telah meminta pengusaha tidak melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK), namun opsi ini dikhawatirkan masih akan ditempuh dalam menghadapi
krisis saat ini.
Di Jakarta saja
telah ada sebanyak 162,416 pekerja telah di-PHK dan dirumahkan tanpa upah
sebagai imbas COVID-19. Situasi krisis saat ini bisa jadi membuat pengusaha
tidak punya pilihan lain selain melakukan PHK karena mereka harus menekan biaya
operasional besar-besaran. Namun Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sudah menegaskan bahwa PHK seharusnya menjadi langkah terakhir
yang ditempuh. Sebelum melakukan PHK, UU Ketenagakerjaan mengatur bagaimana
pengusaha, buruh, serikat buruh, dan pemerintah harus bekerja sama agar tidak
terjadi PHK.
Opsi PHK bisa jadi langkah terakhir yang akan ditempuh.
Langkah ini menjadi situasi buruk terutama bagi pekerja. PHK akan berdampak
sangat serius pada perekonomian keluarga pekerja. Di sisi lain, pengusaha juga
dalam posisi yang sulit karena harus memenuhi kewajiban bagi karyawan yang
mengalami PHK.
Tugas pemerintah dan kita dalam menyelesaikan pandemi
COVID-19 ini masih panjang. Penyelamatan warga dan menekan penyebaran virus
menjadi fokus utama saat ini. Kita berharap pandemi COVID-19 ini bisa segera
teratasi dengan tuntas sehingga pemerintah dengan dukungan semua pihak bisa
segera memulihkan ekonomi.
0 Comments