COVID-19 dan Sejuta Rindu
Sejak WHO mengumumkan virus Corona (Covid-19) menjadi
pandemik global pada 12 Maret 2020 lalu keadaan dunia menjadi sangat chaos, termasuk negara Indonesia. Dengan
cepat tanggap pemerintah Indonesia mengeluarkan protokol kesehatan terkait
penanganan Covid-19, mulai dari kampanye cuci tangan pakai sabun, menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, himbauan menjaga jarak (tidak membuat kerumunan
massa), menetapkan aturan “dirumah aja” dalam kegiatan belajar mengajar, baik
sekolah maupun perguruan tinggi, hingga membatasi aktivitas masyarakat diluar
rumah. Karena masyarakat diminta untuk karantina mandiri dirumah masing-masing
selama 14 hari demi memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Dengan ditetapkannya aturan pemerintah ini, tentu saja
mengubah kebiasaan masyarakat, yang tadinya bisa bekerja dengan lancar kini
banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena di PHK. Lalu, siswa/mahasiswa
terhambat dalam melaksanakan pendidikan karena KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)
harus dilaksanakan secara online, yang mana dalam pelaksanaannya masih banyak
menemui kendala. Dan yang sangat menyedihkan adalah, banyak sanak saudara di
perantauan tidak bisa pulang ke kampung halaman mereka. Karena jika mereka
kembali ke kampung halaman ditakutkan akan membawa virus dan tidak sadar mereka
bisa menjadi carrier (pembawa virus
tanpa ada tampak gelaja).
Seperti yang terjadi di Kota Tebing
Tinggi, Sumatera Utara. Di bulan Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda.
Akibat covid-19 keadaan kota menjadi
agak sepi. Suasana Ramadhan pun tidak begitu terasa sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya. Pun begitu, tidak menyurutkan antusias masyarakat untuk
melaksanakan ibadah Puasa Ramadhan kali ini.
Perubahan suasana ini tampak jelas, jika biasanya banyak
penjual takjil yang berjualan baik dikota maupun disekitar rumah-rumah warga,
pada Ramdhan kali ini hanya segelintir masyarakat saja yang berjualan. Kegiatan
ngabuburit yang biasanya sangat seru namun kali ini berbeda, ngabuburit hanya
dilakukan disekitaran rumah saja. Tapi ada juga masyarakat yang “bandel” dan
tetap ngabuburit keliling kota. Yang tidak berubah adalah sholat tarawih.
Karena Kota Tebing Tinggi masih dikategorikan zona hijau, jadi beberapa masjid
masih melaksanakan sholat tarawih seperti biasa. Namun tetap saja, ini akan
sangat membahayakan karena menciptakan kerumunan massa.
Keharuan terasa saat malam takbiran tiba. Takbir
berkumandang dengan indah namun tidak dengan kegundahan hati yang menahan rindu
akan sanak saudara. Setelah melewati puasa Ramadhan selama 30 hari, bulan
syawal pun tiba. Semuanya kembali ke fitrah. Terasa haru karena maaf-maafan
hanya bisa dilakukan melalui ponsel pintar dengan memanfaatkan aplikasi
penghubung videocall. Tidak ada berkumpul keluarga, tidak ada sungkeman. Hambar
rasanya. Tapi yang tetap ada adalah makan ketupat lontong. Walau Idul Fitri
terasa hambar namun tradisi ini tidak akan pernah pudar.
Dan pada akhirnya, kita harus tetap terus berdoa agar
Covid-19 ini segera berakhir, supaya kehidupan bisa berjalan normal lagi. Tetap
patuhi himbauan pemerintah demi kemaslahatan bersama.
0 Comments