COVID-19 dan Sejuta Rindu

by - July 04, 2020


cr image: google.com

Sejak WHO mengumumkan virus Corona (Covid-19) menjadi pandemik global pada 12 Maret 2020 lalu keadaan dunia menjadi sangat chaos, termasuk negara Indonesia. Dengan cepat tanggap pemerintah Indonesia mengeluarkan protokol kesehatan terkait penanganan Covid-19, mulai dari kampanye cuci tangan pakai sabun, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, himbauan menjaga jarak (tidak membuat kerumunan massa), menetapkan aturan “dirumah aja” dalam kegiatan belajar mengajar, baik sekolah maupun perguruan tinggi, hingga membatasi aktivitas masyarakat diluar rumah. Karena masyarakat diminta untuk karantina mandiri dirumah masing-masing selama 14 hari demi memutus mata rantai penyebaran covid-19.

Dengan ditetapkannya aturan pemerintah ini, tentu saja mengubah kebiasaan masyarakat, yang tadinya bisa bekerja dengan lancar kini banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena di PHK. Lalu, siswa/mahasiswa terhambat dalam melaksanakan pendidikan karena KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) harus dilaksanakan secara online, yang mana dalam pelaksanaannya masih banyak menemui kendala. Dan yang sangat menyedihkan adalah, banyak sanak saudara di perantauan tidak bisa pulang ke kampung halaman mereka. Karena jika mereka kembali ke kampung halaman ditakutkan akan membawa virus dan tidak sadar mereka bisa menjadi carrier (pembawa virus tanpa ada tampak gelaja).

            Seperti yang terjadi di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Di bulan Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda. Akibat covid-19 keadaan kota menjadi agak sepi. Suasana Ramadhan pun tidak begitu terasa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pun begitu, tidak menyurutkan antusias masyarakat untuk melaksanakan ibadah Puasa Ramadhan kali ini.

Perubahan suasana ini tampak jelas, jika biasanya banyak penjual takjil yang berjualan baik dikota maupun disekitar rumah-rumah warga, pada Ramdhan kali ini hanya segelintir masyarakat saja yang berjualan. Kegiatan ngabuburit yang biasanya sangat seru namun kali ini berbeda, ngabuburit hanya dilakukan disekitaran rumah saja. Tapi ada juga masyarakat yang “bandel” dan tetap ngabuburit keliling kota. Yang tidak berubah adalah sholat tarawih. Karena Kota Tebing Tinggi masih dikategorikan zona hijau, jadi beberapa masjid masih melaksanakan sholat tarawih seperti biasa. Namun tetap saja, ini akan sangat membahayakan karena menciptakan kerumunan massa.

Keharuan terasa saat malam takbiran tiba. Takbir berkumandang dengan indah namun tidak dengan kegundahan hati yang menahan rindu akan sanak saudara. Setelah melewati puasa Ramadhan selama 30 hari, bulan syawal pun tiba. Semuanya kembali ke fitrah. Terasa haru karena maaf-maafan hanya bisa dilakukan melalui ponsel pintar dengan memanfaatkan aplikasi penghubung videocall. Tidak ada berkumpul keluarga, tidak ada sungkeman. Hambar rasanya. Tapi yang tetap ada adalah makan ketupat lontong. Walau Idul Fitri terasa hambar namun tradisi ini tidak akan pernah pudar.

Dan pada akhirnya, kita harus tetap terus berdoa agar Covid-19 ini segera berakhir, supaya kehidupan bisa berjalan normal lagi. Tetap patuhi himbauan pemerintah demi kemaslahatan bersama.


 -oleh: Syiva Arziah

You May Also Like

0 Comments