Antara “Musik Indie”, Musisi, dan Pendengar (yang salah kaprah)
Jika
membahas tentang musik tentunya kita sudah menjadi penikmat musik sejak dari
dulu. Contoh, ketika duduk di Sekolah Dasar (SD) kita diajari tentang
musik-musik tradisional seperti lagu Butet dari Sumatera Utara, Ayam Den Lapeh
dari Sumatera Barat, Kicir-Kicir dari Jakarta dan masih banyak lagi. Barulah
semakin beranjak dewasa semakin banyak pula jenis musik dan lagu yang di dengar
baik itu musik dari dalam ataupun luar negeri.
Dikutip
dari wikipedia.com, musik sendiri adalah suara yang disusun sedemikian
rupa sehingga mengandung irama, lagu, nada, dan keharmonisan terutama dari suara
yang dihasilkan dari alat-alat yang dapat menghasilkam irama. Jika dilihat dari
fungsinya musik adalah sarana hiburan untuk dinikmati namun bisa berubah
tergantung di mana musik itu dimainkan. Ada musik sebagai pengiring tari,
meningkatkan daya konsentrasi dan daya kerja otak, hingga musik bisa mengurangi
rasa stress.
Musik
memiliki beberapa jenis/aliran yaitu musik pop, jazz, rock, RnB (Rhythm and
Blues), funk, metal/hardcore, reggae, rap, electronic dimana jenis-jenis
musik itu memiliki pendengar tersendiri. Misal musik rock, metal/hardcore,
hanya sebagian orang yang menyukai aliran ini, karena alasan musik ini memiliki
alunan musik yang cukup keras tak jarang hingga memekakan telinga.
Berangkat
dari jenis musik diatas, diera millenial, khususnya di Indonesia muncul
sebuah musik yang disebut “musik indie”, dimana identik dengan alunan musik
yang sendu, lirik yang dalam dan sarat makna serta konsep video klip yang
estetik. Bermunculan pula musisi dan band indie seperti Banda Neira,
Hinda/.Feast, Fiersa Besari, Pamungkas, Danilla Riyadi, Payung Teduh, Stars and
Rabbit, Figura Renata, Mocca, Nosstress, Nadin Amizah dan lain sebagainya.
Mungkin bagi sebagian orang nama-nama musisi tersebut akan terdengar asing
karena memang pangsa pasar mereka adalah orang-orang yang katanya
“anti-mainstream” yang juga dianggap punya selera musik berbeda.
Di
Indonesia kata “indie” sering disalah artikan, terutama dalam musik. Pendengar
menganggap indie adalah suatu aliran/jenis musik. Namun, jika ditelaah lagi,
“indie” sendiri berasal dari kata independent yang berarti “bebas /
mereka / berdiri sendiri”. Maksudnya disini, seorang musisi akan menulis lirik,
memproduksi, hingga memasarkan lagu mereka secara independen (sendirian) tanpa
adanya terikat dengan label rekaman. Jadi sudah jelas, indie bukanlah sebuah
aliran musik seperti persepsi kebanyakan orang. Yang dikatakan jenis/alirannya
adalah aliran “folk”. Dalam folk (dilansir dari laman loop.co.id)
, musisi tidak terikat dan bebas mengekspresikan corak musik, tidak jarang
mereka menggabungkan beberapa musik etnik yang berbeda dalam satu lagu.
Jika
melihat lagi kebelakang, musik folk mulai ada di Indonesia sejak tahun 60-an,
pelopornya saat itu adalah Gordon Tobing. Dan musisi yang terkenal saat itu
adalah Kwarter Bintang, Trio Bimbo hingga musisi kenamaan Ebit G Ade. Ketika
zaman semakin berganti, mulai bermunculan musisi dengan aliran folk seperti
Payung Teduh dengan lagunya Resah, Stars and Rabbit dengan Man Upon
the Hill, hingga Endah n Rhesa dengan lagunya When You Love Someone.
Terlepas
dari apapun sebutannya, musik indie tetap mempunyai tempat tersendiri dihati
para pendengarnya. Lirik demi lirik yang tercipta memiliki makna yang cukup
dalam. Fiersa Besari (musisi Indie kenamaan saat ini), mengutip dari cuapannya di
twitter, menururtnya ada beberapa alasan seorang musisi lebih memilih
berkarya dengan jalan indie. Yaitu kebabasan berekspresi, karena Label besar
memiliki pakem untuk tetap mengikuti selera pasar pula menghasilkan banyak
uang, ini tidak salah, namun pakem inilah yang pada akhirnya mengekang musikus.
Maka dari itu jalur indie hadir sebagai alternatif kebebasan bereskpresi
musikus, serta semangat juang untuk terus berkarya tanpa dikekang selara pasar.
Menyinggung
sedikit lagu dan lirik, tak jarang para musikus menciptakan lirik seolah
‘menyentil’ suatu pihak. Misalnya band .Feast dalam lagu mereka “Tarian
Penghancur Raya” jika dilihat dari visual yang ada dalam video clip mereka
ingin menyampaikan kritik terhadap kabut asap yang kemarin hampir melumpuhkan Kalimantan
dan Riau. Masih dalam video klip, .Feast juga mengkritik tentang sikap
penolakan salah satu ormas terhadap gelaran Festival Gandrung Sewu di
Banyuwangi, divideo tertulis “Pada tahun 2018, Tari Gandrung dari Banyuwangi
dipermasalahkan oleh beberapa kelompok masyarakat tertentu. Ia adalah satu dari
sekian banyak warisan asli kebudayaan Indonesia yang terancam keberadaannya
karena satu dan lain hal”, dari kalimat itu .Feast mencoba mengingatkan
kembali bahwa tidak hanya lingkungan saja yang terancam eksistensinya, tetapi
juga budaya lokal, seperti tari-tarian yang menjadi ciri khas nusantara.
Dengan ini, para pecinta dan penikmat musik indie semakin pintar dalam memaknai suatu kata, bukan karena ingin terlihat “berbeda” lantas menyalahartikan sesuatu. Namun balik lagi, apapun sebutannya, fungsi musik tetaplah keindahannya untuk kita nikmati. Biarlah musikus memiliki jalan sendiri dalam mengespresikan karyanya mau itu melalui indie ataupun yang lainnya, karena pada dasarnya “seni itu bebas”. Tentunya tugas sebagai pedengar adalah mendukung serta mengapresiasi karya-karya musikus dengan membeli album asli mereka dan mendengarkannya dari platform resmi. Barulah bisa dikatakan kita penikmat yang baik dan bijaksana.
-oleh: Syiva Arziah
0 Comments