Antara “Musik Indie”, Musisi, dan Pendengar (yang salah kaprah)

by - July 04, 2020


cr image: google.com

Jika membahas tentang musik tentunya kita sudah menjadi penikmat musik sejak dari dulu. Contoh, ketika duduk di Sekolah Dasar (SD) kita diajari tentang musik-musik tradisional seperti lagu Butet dari Sumatera Utara, Ayam Den Lapeh dari Sumatera Barat, Kicir-Kicir dari Jakarta dan masih banyak lagi. Barulah semakin beranjak dewasa semakin banyak pula jenis musik dan lagu yang di dengar baik itu musik dari dalam ataupun luar negeri.

Dikutip dari wikipedia.com, musik sendiri adalah suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, nada, dan keharmonisan terutama dari suara yang dihasilkan dari alat-alat yang dapat menghasilkam irama. Jika dilihat dari fungsinya musik adalah sarana hiburan untuk dinikmati namun bisa berubah tergantung di mana musik itu dimainkan. Ada musik sebagai pengiring tari, meningkatkan daya konsentrasi dan daya kerja otak, hingga musik bisa mengurangi rasa stress.

Musik memiliki beberapa jenis/aliran yaitu musik pop, jazz, rock, RnB (Rhythm and Blues), funk, metal/hardcore, reggae, rap, electronic dimana jenis-jenis musik itu memiliki pendengar tersendiri. Misal musik rock, metal/hardcore, hanya sebagian orang yang menyukai aliran ini, karena alasan musik ini memiliki alunan musik yang cukup keras tak jarang hingga memekakan telinga.

Berangkat dari jenis musik diatas, diera millenial, khususnya di Indonesia muncul sebuah musik yang disebut “musik indie”, dimana identik dengan alunan musik yang sendu, lirik yang dalam dan sarat makna serta konsep video klip yang estetik. Bermunculan pula musisi dan band indie seperti Banda Neira, Hinda/.Feast, Fiersa Besari, Pamungkas, Danilla Riyadi, Payung Teduh, Stars and Rabbit, Figura Renata, Mocca, Nosstress, Nadin Amizah dan lain sebagainya. Mungkin bagi sebagian orang nama-nama musisi tersebut akan terdengar asing karena memang pangsa pasar mereka adalah orang-orang yang katanya “anti-mainstream” yang juga dianggap punya selera musik berbeda.

Di Indonesia kata “indie” sering disalah artikan, terutama dalam musik. Pendengar menganggap indie adalah suatu aliran/jenis musik. Namun, jika ditelaah lagi, “indie” sendiri berasal dari kata independent yang berarti “bebas / mereka / berdiri sendiri”. Maksudnya disini, seorang musisi akan menulis lirik, memproduksi, hingga memasarkan lagu mereka secara independen (sendirian) tanpa adanya terikat dengan label rekaman. Jadi sudah jelas, indie bukanlah sebuah aliran musik seperti persepsi kebanyakan orang. Yang dikatakan jenis/alirannya adalah aliran “folk”. Dalam folk (dilansir dari laman loop.co.id) , musisi tidak terikat dan bebas mengekspresikan corak musik, tidak jarang mereka menggabungkan beberapa musik etnik yang berbeda dalam satu lagu.

Jika melihat lagi kebelakang, musik folk mulai ada di Indonesia sejak tahun 60-an, pelopornya saat itu adalah Gordon Tobing. Dan musisi yang terkenal saat itu adalah Kwarter Bintang, Trio Bimbo hingga musisi kenamaan Ebit G Ade. Ketika zaman semakin berganti, mulai bermunculan musisi dengan aliran folk seperti Payung Teduh dengan lagunya Resah, Stars and Rabbit dengan Man Upon the Hill, hingga Endah n Rhesa dengan lagunya When You Love Someone.

Terlepas dari apapun sebutannya, musik indie tetap mempunyai tempat tersendiri dihati para pendengarnya. Lirik demi lirik yang tercipta memiliki makna yang cukup dalam. Fiersa Besari (musisi Indie kenamaan saat ini), mengutip dari cuapannya di twitter, menururtnya ada beberapa alasan seorang musisi lebih memilih berkarya dengan jalan indie. Yaitu kebabasan berekspresi, karena Label besar memiliki pakem untuk tetap mengikuti selera pasar pula menghasilkan banyak uang, ini tidak salah, namun pakem inilah yang pada akhirnya mengekang musikus. Maka dari itu jalur indie hadir sebagai alternatif kebebasan bereskpresi musikus, serta semangat juang untuk terus berkarya tanpa dikekang selara pasar.

Menyinggung sedikit lagu dan lirik, tak jarang para musikus menciptakan lirik seolah ‘menyentil’ suatu pihak. Misalnya band .Feast dalam lagu mereka “Tarian Penghancur Raya” jika dilihat dari visual yang ada dalam video clip mereka ingin menyampaikan kritik terhadap kabut asap yang kemarin hampir melumpuhkan Kalimantan dan Riau. Masih dalam video klip, .Feast juga mengkritik tentang sikap penolakan salah satu ormas terhadap gelaran Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi, divideo tertulis “Pada tahun 2018, Tari Gandrung dari Banyuwangi dipermasalahkan oleh beberapa kelompok masyarakat tertentu. Ia adalah satu dari sekian banyak warisan asli kebudayaan Indonesia yang terancam keberadaannya karena satu dan lain hal”, dari kalimat itu .Feast mencoba mengingatkan kembali bahwa tidak hanya lingkungan saja yang terancam eksistensinya, tetapi juga budaya lokal, seperti tari-tarian yang menjadi ciri khas nusantara.

Dengan ini, para pecinta dan penikmat musik indie semakin pintar dalam memaknai suatu kata, bukan karena ingin terlihat “berbeda” lantas menyalahartikan sesuatu. Namun balik lagi, apapun sebutannya, fungsi musik tetaplah keindahannya untuk kita nikmati. Biarlah musikus memiliki jalan sendiri dalam mengespresikan karyanya mau itu melalui indie ataupun yang lainnya, karena pada dasarnya “seni itu bebas”. Tentunya tugas sebagai pedengar adalah mendukung serta mengapresiasi karya-karya musikus dengan membeli album asli mereka dan mendengarkannya dari platform resmi. Barulah bisa dikatakan kita penikmat yang baik dan bijaksana.


-oleh: Syiva Arziah

You May Also Like

0 Comments